Ia tidak mengira waktu ketika tersebut…
Tetapi yang paling sering apabila hujan rintik-rintik di luar jendela
Beberapa kenangan hinggap di kacanya, tergaris oleh tetesan air…
Tetes-tetes cagar awan semuanya melembutkan perasaan…
Tetapi amat melukakan
Di sebuah pantai mentari jatuh ke muka laut, menyebut keindahan
Di kaki lembayung itu ia menyebut namanya…
Jikalah kau mentari, lautku kering…
Jikalah kau hujan, sungaiku banjir…
Ada suka dan duka pada bicaranya tetapi duka itulah yang lebih…
Mencatatkan rindu
Demikian lama ia menyembunyikan puisi-puisinya
Kecewa atau rindukah tanpa sempat terbaca
Ia telah membakarnya di bawah mentari…
Engkaukah yang pilu atau akukah yang terharu…?
Keharuan itulah yang membakar jiwa…
Tanpa waktu
Pertama kali di dengarnya petikan gitar…
Satu-satunya yang terdengar adalah sayunya bahasa hati…
Dari kepedihan yang tidak terucap, semoga engkau menyadari
Kedewasaan dari cinta yang hancur ada yang lebih sayu dari itu
Apabila semua tetap begini
Ia amat berharap diam tanpa persoalan
Bagai lembayung mengenangnya suatu keindahan…
Bagai awan lembutnya menumpaskan mata, suaranya adalah ilham…
Dialah kelembutan pertama mampir di padang senja
Menentang matanya bagai menahan gelombang
Seperti Tiga Tahun dahulu sebelum ada rindu yang lain…
Telah tercatatkan sebuah rindu